Jumat, 21 Agustus 2009

Dari Saya Untukmu dan Kalian

OSPEK FISIP; Antara Kebutuhan & Kewajiban

Oleh : Achmad Saptono*


Mari kita saling evaluasi, saling mengkritik dan saling memberi masukan agar OSPEK FISIP (kita) ke depan menjadi lebih baik…

OSPEK atau yang sekarang kita sebut dengan PKK di kampus kita (FISIP UNSOED) menurut saya perlu kita kaji ulang apakah itu termasuk acara rutin "ritual" yang perlu kita adakan setiap tahunnya, ataukah memang sudah menjadi kebutuhan bersama bagi kampus kita.
Pemilihan tema dan pembahasan content PKK, menurut saya seharusnya menjadi suatu hal yang sangat-sangat menarik untuk diperdebatkan. Bahkan mungkin bagi saya menjadi bagian klimaks yang syarat akan ilmu untuk panitia yang terlibat secara keseluruhan. Akan tetapi, realitas yang ada dalam kepanitiaan PKK FISIP kali ini adalah pemilihan dan pembahasan content seolah menjadi satu agenda yang di nomor sekiankan "tidak penting". Walaupun memang sepengetahuan saya setiap tahunnya (dari tahun 2006-sekarang) OSPEK/PKK kita selalu tidak jauh-jauh membicarakan pendidikan secara umum yang kemudian akhirnya mengarah pada pendidikan yang mahal, pendidikan yang tidak bisa diakses semua kalangan, pendidikan yang "bobrok" serta realitas-realitas lain yang sedang terjadi pada pendidikan hari ini. Entah mungkin karena merasa bosan dengan perdebatan yang mempermasalahkan kebobrokan pendidikan atau mungkin karena semua panitia yang terlibat di kepanitiaan PKK kali ini merasa tidak mau untuk mengungkap "aib" dalam pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan di kampus kita FISIP UNSOED (semoga saja tidak).
Di dalam kepanitiaan PKK kita sering kali membicarakan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses pembelajaran, saya pikir anda (pembaca) pun sepakat bahwa terdapat proses pembelajaran di dalam kepanitiaan PKK kita. Namun yang menjadi pertanyaan besar bagi saya adalah seandainya kita sebagai panitia yang terlibat sepakat, (ma'af) kenapa tidak menikmati proses yang terjadi di dalam kepanitiaan PKK FISIP kali ini? Terlepas dari ramai dan tidaknya "nuansa ospek" atau atribut-atribut (lefleat, poster, spanduk, baliho dan sejenisnya) di kampus, yang saya rasakan dalam kepanitiaan PKK kita kali ini adalah semakin minimnya proses dialektika, hal ini yang menurut saya menjadi salah satu faktor kenapa proses PKK kita terasa sepi-sepi saja. Saya yakin banyak teman-teman mahasiswa FISIP UNSOED lainnya yang merasakan bahwa OSPEK kita kali ini : "Kurang greget atau Sepi-sepi saja".
Kembali ke judul yang saya tuliskan di atas, bagaimana anda (panitia PKK) menganggap serta menginterpretasikan PKK FISIP UNSOED kali ini. Apakah termasuk kebutuhan atau sudah menjadi kewajiban yang harus diadakan setiap tahunnya di kampus FISIP ini?

Silahkan tanggapi!
Jangan mencerna mentah-mentah tulisan ini, silahkan refleksikan dengan rasio dan jangan langsung dicerna dengan hati.

* Mahasiswa biasa saja yang kebetulan suka nongkrong di kampus FISIP, tulisan iseng lainnya ada di www.achmadsaptono.co.cc

Minggu, 16 Agustus 2009

Content Bookleat "Aditya"

Tanggung Jawab Pribadi dan Sosial Sebagai Mahasiswa
Oleh : Muhammad Aditya

“ Bagi Pemuda dan Pemudi Bangsa, kesempatan untuk memperoleh Pendidikan Tinggi dan menjadi Mahasiswa adalah sebuah mimpi yang umum. Namun kenyataannya mimpi tersebut hanyalah sebagian yang dapat merasakannnya. Lalu bagaimanakah nasib Pemuda dan Pemudi Bangsa yang mimpi menjadi mahasiswa dan memperoleh Pendidikan Tinggi yang tidak kesampaian? Banyak yang menaruh harapan, namun sebenarnya untuk apa tujuan menjadi mahasiswa?”

Apakah yang sesungguhnya menjadikan mimpi-mimpi tersebut tidak dapat dirasakan oleh keseluruhan Pemuda dan Pemudi Bangsa ini? Padahal Indonesia sudah memiliki sebuah wadah konstitusi untuk menuangkan tujuan dari pendidikan. Tujuan pendidikan tersebut tertuang dalam alinea ke-4 UUD 1945 dan UU sisdiknas No. 22 Tahun 2009 Pasal 2 dan 3. Pada dasarnya ini menunjukan bahwasannya pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk menciptakan tujuan pendidikan yakni mencerdaskan seluruh kehidupan bangsa. Dengan hal ini, secara logika, kesempatan para pemuda untuk bisa menjadi mahasiswa lebih terbuka. Yang nantinya diharapkan dengan semakin banyaknya generasi muda yang terdidik akan dapat memberikan sumbangsih dan perannya untuk kehidupan bangsa seutuhnya. Adalah para mahasiswa yang notabene menjadi agent of change atau generasi penerus sekaligus pembaharu.
Dengan menjadi mahasiswa, status sosial yang dimiliki akan menjadi terpandang di mata masyarakat umum. Setidaknya itulah anggapan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Ketika sudah berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi mahasiswa, masyarakat banyak menaruh harapan kepada mahasiswa. Lantas muncul pertanyaan, untuk apa kita menjadi mahasiswa? Apa untungnya menjadi mahasiswa? Pertanyaan ini layak ditujukan kepada diri kita selaku mahasiswa sebagai koreksi terhadap tujuan mahasiswa mengenyam di pendidikan tinggi. Kawan, mungkin kita bisa bingung pertanyaan dengan diatas, namun setidaknya pertanyaan itulah yang dapat memberikan gambaran tentang hakikat tanggung jawab sebagai mahasiswa.
Berkaitan dengan tanggung jawab sebagai mahasiswa, ada banyak pendapat yang muncul dalam diri mahasiswa, tetapi itu tidak menjadi suatu permasalahan. Salah satunya adalah tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab pribadi ini adalah hal yang lumrah di benak atau pikiran para mahasiswa pada umumnya. Pikiran-pikiran seperti; ingin dapat IPK tinggi, ingin cepat lulus, ingin cepat kerja, ingin membahagiakan orang tua, dll adalah tidak salah. Namun, ketika sebagian besar mahasiswa menyadari bahwasannya tanggung jawab yang dimiliki hanya sebatas pikiran-pikiran diatas maka itu menjadi kurang ideal. Mengapa? Pada dasarnya, bagaimanapun mahasiswa merupakan salah satu bagian dalam lingkungan sosial. Konsekuensinya, mahasiswa pun memiliki tanggung jawab secara sosial yang berada di pundaknya.
Mahasiswa yang berpendidikan tinggi sudah selayaknya dapat memberikan sumbangsih, perhatian, dan kepedulian terhadap pemasalahan-permasalahan sosial yang ada di sekitar lingkungannya. Bukankah peduli terhadap lingkungan sosial lebih mulia daripada diam atau tidak memperdulikan sama sekali. Terlebih seperti yang kita lihat saat ini, godaan hedonisme dan pragmatisme di kalangan mahasiswa cukup memprihatinkan. Nah, pertanyaannya kemudian, silahkan anda memutuskan untuk memilih peduli atau diam sama sekali. Kawan, banyak hal sebenarnya yang bisa kita lakukan untuk masyarakat. Walaupun terkadang dipandang sebelah mata, namun setidaknya sedikit banyak dapat memberikan kontribusi yang positif guna menuju perubahan yang lebih baik.
Untuk terakhir, Selamat menjadi mahasiswa. Selamat menjalani rangkaian baru. Selamat mengemban beban yang telah diberikan. Semoga kawan bisa menjadi mahasiswa yang terbaik untuk diri sendiri dan masyarakat.

Jumat, 07 Agustus 2009

Content Bookleat "Ucu"


Sistem dan Kurikulum Pendidikan; Sebuah Jalan Buntu
Oleh : Ucu Abdul Barri


DISADARI atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang tanpa arah. Selama ini, banyak yang beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya sebatas formalitas saja. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dinaggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itulah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh praktisi pendidikan di lapangan, salah satu penyebab dari rendahnya efektifitas pengajaran di Indonesia adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.

Saat ini sistem pendidikan nasional kita diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 serta PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas RI. Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dalam RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005–2009, pemerintah lebih menekankan pada manajemen dan kepemeimpinan bukan masalah pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Tidak hanya itu, saat ini pemerintah telah melakukan pelepasan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional yang dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat UU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Disana kita dapat melihat bagaimana tingkat keseriusan pemerintah terhadap peningkatan pendidikan dinegara kita.

Permasalahan lain yang mendukung suramnya wajah pendidikan kita yaitu adanya bongkar-pasang kurikulum pendidikan. Sistem pendidikan Nasional bukanlah milik Presiden, Menteri ataupun para elit Politik. Indonesia sudah beberapa kali melakukan bongkar-pasang kurikulum pendidikan. Mulai kurikulum 1984, 1989, 1994 dan terakhir adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) kemudian diganti lagi dengan KTSP. Semuanya dilakukan atas dasar guna peningkatan mutu pendidikan. Kurikulum adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan. Berhasil dan gagalnya dari suatu sistem pendidikan tentu sangat dipengaruhi oleh faktor tersebut.
Kurikulum pendidikan kita selama ini belum dapat memberikan ruang kreasi siswa. Model seperti ini Paulo Freire menyebutnya dengan banking concept of education atau pendidikan gaya bank, dimana pendidik hanya berperan sebagai penabung yang mendepositokan banyak informasi kepada siswa, tetapi tidak pernah membicarakannya untuk apa informasi itu harus dikuasai siswa.

Kawan. . .
Dunia mahasiswa adalah dunia penjelajahan intelektual. Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas.
Sebuah perubahan besar dimulai dari perubahan-perubahan kecil.
Apa yang ada di depan kita dan apa yang ada di belakang kita adalah hal terkecil dibanding dengan apa yang ada dalam diri kita.
Mari langkahkan kaki, bersama untuk berkontribusi.
Hidup mahasiswa....!!!!

Content Bookleat "Tino"


REALITAS PENDIDIKAN
"BHP (badan hukum pendidikan) ; salah satu indikasi Komersialisasi Pendidikan"
Oleh : Achmad Saptono


Salam Solidaritas…
Selamat datang di Kampus Orange yang dinamis!

Dimurahin lagi… Dimurahin lagi… Cuci gudang… Cuci gudang…, kalimat-kalimat itu yang selalu saya ingat ketika berbicara tentang kondisi pendidikan saat ini. Pelaksanaan sistem pendidikan nasional di Indonesia sudah menjadi barang dagangan yang diobral. Mereka yang punya uang akan dengan mudahnya mendapatkan pendidikan, sebaliknya mereka yang tidak mampu akan dengan mudahnya teralienasi dari pendidikan. Mungkin saat ini kapitalisme sedang tertawa lebar, diatas kursi mewahnya melihat kondisi pendidikan Indonesia yang berhasil mereka kuasai.
Memang sudah tidak menjadi hal yang tabu lagi, bahwa kenyataannya pendidikan di Indonesia ini sangat mahal dan tidak sebanding dengan kualitas serta pelayanannya. Kurikulum yang berganti-ganti dalam jangka waktu yang menurut saya sangat cepat misalnya, dampaknya adalah pendidik dan peserta didik dipaksa untuk mengikuti kurikulum yang ada/baru serta meninggalkan kurikulum yang lama. Salah satu contoh : guru atau murid yang sedang membaca atau mempelajari salah satu buku kurikulum KBK (kurikulum berbasis kompetensi), belum selesai buku itu dipelajari kemudian harus berganti mempelajari buku kurikulum KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan). Hal ini yang kemudian menyebabkan ketidakadilan bagi mereka yang tidak mampu untuk membeli buku-buku baru, yang notabene harga buku sekarang sudah melebihi harga 1 kilogram beras di pasar. Pertanyaannya adalah, apakah mungkin semua peserta didik mampu membeli buku tersebut?
Belum selesai permasalahan kurikulum, ditambah lagi munculnya permasalahan kebijakan baru dari pemerintah yang mengganti status perguruan tinggi negeri menjadi BHP-BHMN (badan hukum pendidikan-badan hukum milik Negara). Berdasarkan UU Sisidiknas No 20 tahun 2003 tentang Badan Hukum Pendidikan, pasal 53 ayat 1 Badan Hukum Pendidikan adalah penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Berdasarkan UU No 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 : Badan Hukum Pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Dalam Bab II tentang Fungsi, Tujuan dan Prinsip Pasal 3 : Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.
Adanya undang-undang BHP artinya saat ini pemerintah sudah tidak lagi bercampur tangan dalam hal pendanaan. Dengan dalih ingin memajukan pendidikan nasional dengan cara otonomi/desentralisasi pendidikan akhirnya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia berlomba-lomba mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Dari mana lagi pendanaan pendidikan diperoleh kalau bukan dari peserta didik/masyarakat yang terlibat dalam institusi pendidikan tersebut. Makanya, tidak heran ketika banyak berita yang beredar bahwa : "harga sebuah kursi di sebuah perguruan tinggi negeri sampai mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah", dan jangan heran ketika untuk masuk sekolah menengah bahkan sekolah dasar saat ini membutuhkan dana ratusan ribu bahkan puluhan juta rupiah.
Di dalam UU BHP No 9 Tahun 2009 pasal 41 ayat 4 disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menanggung paling sedikit sepertiga (1/3) dari biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah. Demikian pula halnya pada Pasal 41 ayat 7 yang menyebutkan bahwa Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
Perubahan status menjadi badan hukum pendidikan akhirnya benar-benar mengarahkan pendidikan pada komersialisasi pendidikan. Hal ini yang menurut Paulo Freire disebut dengan pendidikan yang tidak humanis, pendidikan yang tidak mampu memanusiakan manusia. Padahal terlaksananya pendidikan di suatu negara merupakan tanggung jawab dari pemerintah suatu negara (sebagaimana yang telah diamanahkan dalam UUD RI 1945). Dilihat dalam jangka panjang, bentuk Badan Hukum Pendidikan memungkinkan suatu institusi pendidikan untuk mengalami pembubaran yang disebabkan salah satunya karena pailit. Hal tersebut terdapat dalam pasal 57. BHP menjadikan institusi pendidikan seperti sebuah perusahaan dimana ketika terjadi defisit anggaran, institusi tersebut dapat dinyatakan pailit dan bubar.

Salam Solidaritas...
Selamat Berproses!

Senin, 20 Juli 2009

Pengumuman

FISIP-UNSOED, sebuah fakultas yg terdiri dari jurusan Administrasi Negara, Sosiologi, Politik dan Ilmu Komunikasi merencanakan pelaksanaan OSPEK (Orientasi pengenalan kampus) akan berlangsung pada sejak tanggal 27-30 agustus 2009. Tema yang diangkat dalam pelaksanaan Ospek ini adalah mengangkat konsep "Pendidikan yang Humanis". Latar belakang pemilihan konsep ini berangkat dari hasil analisa semua teman-teman divisi di kepanitiaan Ospek Fisip-Unsoed 2009. Banyak indikasi yang membuat ketidakhumanisan dalam institusi pendidikan saat ini, diantaranya adalah adanya praktik komersialisasi pendidikan, akses pendidikan yang tidak merata, dampak perubahan kurikulum, sertifikasi guru dan banyak permasalahan yang nantinya akan di eksplore dalam tulisan tentang materi Ospek FISIP-UNSOED 2009 yang mengangkat redaksional tema "Aktualisasi Peran Mahasiswa Untuk Mewujudkan Pendidikan yang Humanis (APRESIASI)"